Bayangkan jika kita mencari
alamat rumah seseorang dan sudah menemukan nama jalan sesuai alamat, apa yang
selanjutnya dicari? Tentu saja nomor rumah. Nomor perjanjian sama
seperti nomor rumah, sebagai identitas alamat sebuah dokumen dalam susunan yang
telah ditentukan berdasarkan penomoran tertentu. Kita tentunya tidak akan
mengetok rumah nomor 9 jika kerabat yang dicari bertempat tinggal di rumah
nomor 6. Begitupun dalam perjanjian, kita tidak akan mengutip perjanjian “Nomor:
15/Jual-Beli /I/2013” dalam gugatan “sewa-menyewa” yang lahir dari
perjanjian “Nomor: 09/sewa-menyewa/II/2013”.
Nomor Perjanjian merupakan nomor dokumen seperti halnya nomor
undang-undang. Diperlukannya nomor dokumen terutama untuk kepentingan merujuk
dokumen tersebut untuk kepentingan hukum tertentu. Selain itu, penomoran
dokumen juga diperlukan untuk kepentingan tertib administrasi. Misalnya,
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 yang merupakan nomor dokumen untuk
Undang-undang Perseroan Terbatas, diperlukan sebagai nomor rujukan peraturan
bagi suatau organ Perseroan Terbatas untuk menjalankan perusahaannya.
Nomor perjanjian bukan merupakan syarat sahnya perjanjian. Syarat sahnya perjanjian
telah diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata, yaitu yang terdiri dari “kata
sepakat”, “cakap”, “suatu hal tertentu”, dan “suatu sebab yang halal”. Nomor
perjanjian bukanlah syarat seperti dimaksud dalam pasal tersebut,
sehingga ketiadaan nomor perjanjian tidak membuat perjanjiannya menjadi tidak
sah.
Tujuan lain dicantumkannya nomor
perjanjian adalah untuk kepentingan tertib administrasi. Nomor perjanjian
merupakan nomor dokumen dalam rangka melakukan filling dokumen-dokumen
yang berkaitan dengan suatu keadaan hukum, atau kaitan antara keadaan hukum itu
dengan keadaan hukum lainnya, sehingga jelas kategorisasi hubungan hukumnya
karena tersusun secara urut berdasarkan penomoran tertentu – tumpukan mana
dokumen-dokumen perjanjian sewa menyewa dan tumpukan mana dokumen-dokumen jual
beli.