Salah satu faktor yang penting dalam perkawinan adalah harta kekayaan.
Faktor ini dapat dikatakan yang dapat menggerakan suatu kehidupan perkawinan.
Dalam perkawinan, memang selayaknyalah suami yang memberikan nafkah bagi
kehidupan rumah tangga, dalam arti harta kekayaan dalam perkawinan ditentukan
oleh kondisi dan tanggung jawab suami. Namun di zaman modern ini, dimana wanita
telah hampir sama berkesempatannya dalam pergaulan sosial, wanita juga sering
berperan dalam kehidupan ekonomi rumah tangga. Hal ini tentunya membawa
pengaruh bagi harta kekayaan suatu perkawinan, baik selama perkawinan
berlangsung maupun jika terjadi perceraian.

HARTA PERKAWINAN
UU Perkawinan telah membedakan harta perkawinan atas “harta
bersama”, “harta bawaan” dan dan “harta perolehan” (Pasal 35).
Harta Bawaan
Harta bawaan adalah harta yang dibawa masing-masing suami atau istri
sebelum terjadinya perkawinan. Misalnya, seorang wanita yang pada saat akan
melangsungkan perkawinan telah bekerja di sebuah perusahaan selama empat tahun
dan dari hasil kerjanya itu ia mampu membeli mobil. Maka ketika terjadi
perkawinan, mobil tersebut merupakan harta bawaan istri. Menurut UU Perkawinan
harta bawaan tersebut berada di bawah penguasaan masing-masing suami dan istri.
Masing-masing suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan
perbuatan hukum mengenai harta bawaannya tersebut. Namun meski demikian, UU
Perkawinan juga memberikan kesempatan kepada suami istri untuk menentukan lain,
yaitu melepaskan hak atas harta bawaan tersebut dari penguasaannya
masing-masing (misalnya: dimasukan ke dalam harta bersama). Pengecualian ini tentunya
harus dengan perjanjian – Perjanjian Perkawinan.
Harta Bersama
Harta bersama berarti harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung,
baik oleh suami maupun istri. Harta bersama misalnya gaji masing-masing suami
dan istri, atau pendapatan mereka dari usaha-usaha tertentu, atau mungkin juga
deviden dari saham yang ditanam di sebuah perusahaan oleh salah satu pihak.
Harta bersama tersebut berada di dalam kekauasaan suami dan istri secara
bersama-sama, sehingga penggunaannya harus dilakukan dengan persetujuan kedua
pihak.
Harta Perolehan
Harta perolehan adalah harta yang diperoleh suami atau istri selama masa
perkawinan yang berupa hadiah atau hibah atau waris. Seperti halnya harta
bawaan, masing-masing suami dan istri juga memiliki kekuasaan pribadi atas
harta perolehan tersebut. Masing-masing suami dan istri memiliki hak sepenuhnya
terhadap harta yang diperolehnya dari hadiah, warisan, maupun hibah.
Pengecualian keadaan ini dapat diadakan oleh suami istri dengan persetujuan
masing-masing – Perjanjian Perkawinan.
PERJANJIAN PERKAWINAN
Perjanjian
Perkawinan merupakan perjanjian diantara calon suami dan calon
istri mengenai harta perkawinan. Isi Perjanjian Perkawinan terbatas hanya untuk
mengatur harta kekayaan dalam perkawinan dan tidak dapat mengatur hal-hal lain
yang berada di luar harta perkawinan – misalnya tentang kekuasaan orang tua
terhadap anak. Perjanjian Perkawinan tentang hal-hal diluar harta perkawinan
adalah tidak sah.
Perjanjian Perkawinan hanya dapat dibuat “pada waktu” atau “sebelum”
perkawinan berlangsung. Perjanjian Perkawinan yang dibuat “setelah”
dilangsungkannya perkawinan menjadi tidak sah dengan sendirinya – batal demi
hukum. Syarat lain Perjanjian Perkawinan adalah harus dibuat “dalam bentuk
tertulis”. Perjanjian dalam bentuk tertulis ini harus disahkan oleh Pegawai
Pencatat Perkawinan. Dengan dilaksanakannya pencatatan tersebut maka isi
Perjanjian Perkawinan baru dapat mengikat pihak ketiga yang lain yang
bersangkutan dengan apa yang diperjanjikan.
Suatu Perjanjian Perkawinan baru berlaku sejak dilangsungkannya perkawinan.
Perjanjian tersebut tidak mengikat para pihak sebelum dilangsungkannya
perkawinan, demikian juga perjanjian tersebut tidak lagi mengikat setelah
terjadinya perceraian. Selama dalam masa perkawinan, Perjanjian Perkawinan
tidak dapat dirubah kecuali ada persetujuan kedua belah pihak. Selain adanya
persetujuan kedua belah pihak, persetujuan tersebut juga tidak boleh merugikan
pihak ketiga yang berkepentingan.
AKIBAT PERCERAIAN TERHADAP PERKAWINAN
Putusnya suatu perkawinan dapat terjadi baik karena “kematian”, “putusan
pengadilan” maupun karena “perceraian” (pasal 38 UU Perkawinan). Dengan
terjadinya kematian salah satu pihak suami atau istri, maka otomatis perkawinan
mereka menjadi putus. Putusnya perkawinan karena putusan pengadilan dapat
terjadi misalnya karena ada tuntutan ke pengadilan dari pihak ketiga yang
menghendaki putusnya perkawinan tersebut, yaitu misalnya pihak keluarga dalam
garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu
dari salah seorang pasangan suami istri, atau suami/istri yang masih terikat
dengan suatu perkawinan.
Putusnya perkawinan karena “perceraian” dapat terjadi karena salah satu pihak
mengajukannya ke pengadilan. Jika suami yang mengajukan perceraian maka
pengajuan itu disebut “Permohonan Thalak”, sedangkan jika istri yang mengajukan
maka pengajuannya disebut “Gugatan Cerai”. Menurut pasal 39 UU Perkawinan,
percerian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan. Perceraian itu
diajukan dengan alasan-alasan yang cukup, yaitu bahwa suami-istri yang
bersangkutan tidak dapat lagi hidup rukun. Sebelum pengadilan menyidangkan
runtutan percerian, maka hakim wajib berusaha mendamaikan kedua belah pihak.
Sebuah perceraian tentu saja menimbulkan akibat terhadap harta kekayaan
dalam perkawinan, baik terhadap harta bawaan, harta bersama, maupun harta
perolehan berdasarkan hukumnya masing-masing. Bagi orang yang beragama Islam,
pengaturan tersebut dilakukan berdasarkan hukum Islam yang telah diakomodir
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Secara umum, apabila tidak diadakan
Perjanjian Perkawinan terhadap harta perkawinan, maka sebuah perceraian akan
mengakibatkan:
1. Terhadap Harta Bersama
Harta bersama dibagi dua sama rata diantara suami dan istri (gono-gini).
2. Terhadap Harta Bawaan
Harta bawaan menjadi hak masing-masing istri dan suami yang membawanya –
kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan.
3. Terhadap Harta Perolehan
Harta perolehan menjadi hak masing-masing istri dan suami yang
memperolehnya – kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan.