Kewenangan mengadili atau kompetensi yurisdiksi pengadilan
adalah untuk menentukan pengadilan mana yang berwenang memeriksa dan memutus
suatu perkara, sehingga pengajuan perkara tersebut dapat diterima dan tidak
ditolak dengan alasan pengadilan tidak
berwenang mengadilinya. Kewenangan mengadili merupakan syarat formil sahnya
gugatan, sehingga pengajuan perkara kepada pengadilan yang tidak berwenang
mengadilinya menyebabkan gugatan tersebut dapat dianggap salah alamat dan tidak
dapat diterima karena tidak sesuai dengan kewenangan absolut atau kewenangan
relatif pengadilan.
Kewenangan Absolut Pengadilan
Kewenangan
absolut pengadilan merupakan kewenangan lingkungan peradilan tertentu untuk
memeriksa dan memutus suatu perkara berdasarkan jenis perkara yang akan
diperiksa dan diputus. Menurut Undang-undang No. 4 Tahun 2004, kekuasaan
kehakiman (judicial
power) yang berada di bawah Mahkamah Agung (MA) merupakan
penyelenggara kekuasaan negara di bidang yudikatif yang dilakukan oleh
lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer,
dan Peradilan Tata
Usaha Negara. Menurut Yahya Harahap, pembagian ligkungan
peradilan tersebut merupakan landasan sistem peradilan negara (state court system)
di Indonesia yang terpisah berdasarkan yurisdiksi (separation court system based on jurisdiction).
Berdasarkan penjelasan Undang-undang No. 14 Tahun 1970, pembagian itu
berdasarkan pada lingkungan kewenangan yang dimiliki masing-masing berdasarkan diversity jurisdiction, kewenangan tersebut memberikan
kewenangan absolut pada masing-masing lingkungan peradilan sesuai dengan subject matter of jurisdiction, sehingga masing-masing
lingkungan berwenang mengadili sebatas kasus yang
dilimpahkan undang-undang kepadanya. Lingkungan kewenangan
mengadili itu meliputi:
a.
Peradilan Umum berdasarkan UU No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum,
memeriksa dan memutus perkara dalam hukum Pidana (umum dan khusus) dan Perdata
(umum dan niaga).
b.
Peradilan Agama berdasarkan UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama,
memeriksa dan memutus perkara perkawinan, kewarisan, wakaf dan shadaqah.
c.
Peradilan Tata Usaha Negera berdasarkan UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, memeriksa dan memutusa sengketa Tata Usaha Negara.
d.
Peradilan Militer yang berwenang memeriksa dan memutus perkara perkara pidana
yang terdakwanya anggota TNI dengan pangkat tertentu.
Kewenangan Relatif Pengadilan
Kewenangan
relatif pengadilan merupakan kewenangan lingkungan peradilan tertentu
berdasarkan yurisdiksi wilayahnya, yaitu untuk menjawab pertanyaan “Pengadilan
Negeri wilayah mana yang berwenang untuk mengadili suatu perkara?”. Dalam hukum
acara perdata, menurut pasal 118 ayat (1) HIR, yang berwenang mengadili suatu
perkara perdata adalah Pengadilan Negeri (PN) yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat (actor sequitur forum rei). Mengajukan gugatan pada
pengadilan diluar wilayah hukum tempat tinggal tergugat, tidak dibenarkan.
Persoalannya
adalah, bagaimana jika seorang tergugat memiliki beberapa tempat tinggal yang
jelas dan resmi. Dalam hal ini, penggugat dapat mengajukan gugatan ke salah
satu PN tempat tinggal tergugat tersebut. Misalnya, seorang tergugat dalam
KTP-nya tercatat tinggal di Tangerang dan memiliki ruko di sana, sementara
faktanya ia juga tinggal di Bandung. Dalam hal demikian, gugatan dapat diajukan
baik pada PN di wilayah hukum Tangerang maupun Bandung. Dengan demikian, titik
pangkal menentukan PN mana yang berwenang mengadili perkara adalah tempat
tinggal tergugat dan bukannya tempat kejadian perkara (locus delicti)
seperti dalam hukum acara pidana.
Dalam
hal suatu perkara memiliki beberapa orang tergugat, dan setiap tergugat tidak
tinggal dalam suatu wilayah hukum, maka penggugat dapat mengajukan gugatan ke
PN yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal salah seorang tergugat. Kepada
penggugat diberikan hak opsi, asalkan tergugat terdiri dari beberapa orang dan
masing-masing tinggal di daerah hukum PN yang berbeda.
Jika
tergugat terdiri lebih dari satu orang, dimana tergugat yang satu berkedudukan
sebagai debitur pokok (debitur principal) sedangkan tergugat lain sebagai penjamin
(guarantor),
maka kewenang relatif PN yang mengadili perkara tersebut jatuh pada PN yang
daerah hukumnya meliputi tempat tinggal debitur pokok tersebut.
Opsi
lainnya adalah gugatan diajukan kepada PN yang wilayah hukumnya meliputi tempat
kediaman penggugat, yaitu dengan patokan apabila tempat tinggal tergugat tidak
diketahui. Agar tidak dapat dimanipulasi oleh penggugat, tidak diketahuinya
tempat tinggal tergugat itu perlu mendapat surat keterangan dari pejabat yang
bersangkutan yang menyatakan bahwa tempat tinggal tergugat tidak diketahui.
Misalnya, surat keterangan dari kepala desa.
Jika
obyek gugatan mengenai benda tidak bergerak (benda tetap), misalnya tanah, maka
gugatan diajukan kepada PN yang daerah hukumnya meliputi benda tidak bergerak
itu berada. Jika keberadaan benda tidak bergerak itu meliputi beberapa wilayah
hukum, maka gugatan diajukan ke salah satu PN atas pilihan penggugat. Namun
jika perkara itu merupakan perkara tuntutan ganti rugi berdasarkan Perbuatan
Melawan Hukum (PMH) pasal 1365 KUHPerdata yang sumbernya berasal dari obyek
benda tidak bergerak, maka tetap berlaku asas actor sequtur
forum rei (benda
tidak bergerak itu merupakan “sumber perkara” dan bukan “obyek perkara”).
Misalnya, tuntutan ganti rugi atas pembaran lahan perkebunan.
Dalam
perjanjian, terkadang para pihak menentukan suatu PN tertentu yang
berkompetensi memeriksa dan mengadili perkara mereka. Hal ini, berdasarkan asas
kebebasan berkontrak, bisa saja dimasukan sebagai klausul perjanjian, namun
jika terjadi sengketa, penggugat memiliki kebebasan untuk memilih, apakah PN
berdasarkan klausul yang ditunjuk dalam perjanjian itu atau berdasarkan asas actor sequtur forum rei. Jadi, domisili pilihan dalam suatu
perjanjian tidak secara mutlak menyingkirkan asas actor sequitur forum rei, dan tergugat tidak dapat melakukan
eksepsti terhadap tindakan tersebut.
Pemeriksaan Perkara Berdasarkan Extra Judicial
Selain
lingkungan pengadilan seperti dimaksud UU No. 4 Tahun 2004, sengketa tertentu
juga dapat diselesaikan oleh pengadilan extra judicial yang memiliki yurisdiksi khusus (specific
jurisdiction). Extra judicial tersebut memiliki kewenangan absolut
untuk menyelesaikan suatu sengketa namun kedudukan dan organisasinya berada di
luar kekuasaan kehakiman. Meskipun extra judicial memiliki kewenangan absolute layaknya
badan peradilan, namun pemeriksaan perkara pada extra judicial tidak
memiliki kewenangan untuk mengeksekusi putusannya. Untuk mengeksekusi putusan, extra judicial harus
mendapat bantuan (judicial
assistance) dari PN. Misalnya, putusan arbitrase agar dapat
dilaksanakan wajib meminta eksekusinya kepada PN. Beberapa extra judicial:
a.
Arbitrase
b.
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4)
c.
Pengadilan Pajak
d.
Mahkamah Pelayaran